Temannya Emping Jengki
6:53 AM Edit This 0 Comments »Sambungan ...
Dari dahulu hingga sekarang telah 45 tahun keluarga Ahmad, penjual soto kuning Kang Suit ini menjajakan makanan khas Bogor, soto kuning di daerah Empang, Bogor. Ia mengatakan bahwa dari dahulu tak ada yang berubah sejak diturunkan oleh Djarkasih, kakeknya hingga langseng tempat menanak nasinya pun memakai langseng dari zaman kakeknya.
“Mulai dari bumbu, cara memasak, dan teman makannya, yaitu emping jengki telah ada dan tak berubah sejak soto kuning ini dijual di pasar Alun-alun,” papar Ahmad kepada Jurnal Bogor belum lama ini. Mengenai emping jengki, yaitu emping yang dibuat dari buah yang baunya khas, jengkol, Ahmad mengatakan tak ada pengecualian. Setiap hari, emping ini akan selalu menemani para pecinta kuliner yang tak akan absen menanyakan emping tersebut meski emping melinjo juga disediakan olehnya.
“Kebetulan, emping jengkol ini atau terkenal dengan sebutan emping jengki dibuat oleh kakak saya yang juga turun temurun. Setiap hari harus selalu ada karena pelengkap yang pas dan tak tergantikan,” ujarnya bersemangat. Meski disediakan sebanyak 35 bungkus setiap harinya, pasti selalu kehabisan sebelum sotonya habis. Satu bungkus emping jengki ini dijual seharga Rp 3.000,-, sedangkan emping melinjo dijual seharga Rp 2.000,- dan jumlahnya lebih sedikit.
Biasanya, emping tersebut dihancurkan terlebih dahulu lalu dicampur dengan kecap manis cap Zebra. Ada yang suka memakannya langsung, tapi ada juga yang menceburkannya ke dalam kuah soto yang sedang mengepul itu.
“Meski baunya memang khas dan tak semua suka, tapi kalau sudah dalam bentuk emping, tak ada yang menolak. Pria wanita sama saja,” ujarnya sambil bergurau.
Semangkuk soto kuning dihargai sesuai potongan daging atau kikil yang dipilih. Semua bagian tubuh sapi itu dihargai Rp 5.000,-. Ahmad mengatakan sejak ia yang mengelola soto kuning di gang Sedane dekat SD Al Irsyad Al Islamiyah itu, ia tak lagi memakai jeroan, hanya daging, paru, kaki sapi, cingur, dan kikil sapi.
“Banyak komplain dari pelanggan kalau saya juga menjual jeroan. Saya tak mau ambil resiko karena banyak pelanggan saya adalah para manula. Sekarang pun yang muda sudah mengerti tentang kesehatan, jadi mereka ikut menolak kalau ada jeroan,” jelasnya.
TETAP PAKAI KAYU BAKAR
Tetap Pakai Kayu Bakar
Empang – Peduli akan kesehatan para pelanggannya adalah kunci kesuksesan Soto Kang Suit ini. Bagaimana tidak? Ia berani mendobrak tradisi pemakain jeroan pada soto yang telah diturunkan dari kakeknya Djarkasih sejak tahun 1964. Dulu soto ini dijual di pasar Alun-alun Empang sebelum akhirnya pindah ke gang Sedane.
“Dari zaman kakek saya seroan juga dipakai. Tapi sejak saya pegang, saya tak mau ambil resiko. Seluk beluk perjalanan soto ini saya tahu karena dari kecil saya juga bantu bapak jualan soto. Kebanyakan yang makan tidak suka kalau ada jeroan, bikin kolesterol naik katanya,” ujar Ahmad, generasi kedua penjual soto kuning di Empang. Selain itu, pelanggan Ahmad juga banyak yang berasal dari pelanggan ayahnya dan sekarang menjadi langganan tetapnya, sehingga banyak manula yang makan disana. Meski ada beberapa pelanggan yang komplain yaitu pecinta jeroan, mereka akhirnya toh peduli juga terhadap kesehatan mereka. Asalkan selain jeroan yang ditiadakan, tidak ada lagi yang dirubah.
Sebelum Ahmad, bapaknya Suita yang memegang kendali usaha keluarga ini. Setelah itu sepupunya yaitu Kang Usup, dan Kang Acang dan akhirnya sekarang di kelola Ahmad bersama kakak ipar dan sepupunya.
Apa lagi yang membuat soto ini menjadi pilihan menu sarapan keluarga yang datang dari berbagai daerah ini? Ahmad menjawab dengan tetap menjaga bumbu, proses memasak, cara menjual dan bahan pelengkap lainnya. Pelanggan pasti tidak akan lari kemana-mana.
“Salah satunya adalah penggunaan kayu bakar. Teknik ini dipakai memang karena dulu masih memasak secara tradisional, namun seiring berjalannya waktu penggunaan kayu bakar ini menjadi tradisi dan tak boleh diganti meski tak secepat pakai gas,” jelas Ayah dari Nisa ini.
Sekali memasak, Ahmad mengaku menggunakan enam kelapa tua untuk mendapatkan santan yang pas. Jika beberapa soto diketahui memakai susu di dalam kuah santannya, ia mengaku tidak ada susu di sotonya, gurih yang didapat berasal dari santan dan bumbu yang masih diracik oleh bapaknya, kang Suita. Makanya, soto ini masih terkenal dengan nama Soto Kang Suit meski dikelola oleh Kang Ahmad.
“Itu juga salah satu bumbu yang tak boleh dilanggar. Kami sekeluarga tidak pakai susu dalam kuahnya, mungkin itulah salah satu resep rahasianya selain memasak tetap pakai kayu bakar dan tidak ada jeroan,” katanya kepada Jurnal Bogor.
SEHARI RAUP JUTAAN RUPIAH
Anda tak akan menemukan jeroan di dalam semangkuk soto Kang Suit selama Kang Ahmad yang mengelolanya. Pasalnya, banyak yang mengeluh karena jeroan berakibat tidak baik bagi kesehatan pelanggannya. Anda hanya akan menemukan daging, kikil sapi, kaki sapi, cingur, urat, dan paru yang disediakan dengan bumbu kuning diatas daun pisang dan bebas dipilih oleh pelanggan. Setiap dagingnya dikenakan harga Rp 5.000,-.
Dari kesemua bagian sapi itu, yang paling menjadi favorit adalah kaki sapi. Jangan heran kalau Anda sedikit kesiangan saja pasti tak akan menemukan kaki sapi atau biasa disebut dengan tunjang.
“Kita buka dari pukul 07.00 WIB hingga habis. Kalau jam sembilan, pasti kaki sapinya diserbu duluan. Jadi kalau mau, ya datangnya pagi-pagi,” kata Ayah dari Nisa itu.
Ternyata, tak hanya legit, tapi juga menyehatkan. Beberapa pelanggan yang sedang sarapan disana mengatakan kaki sapi itu bisa sebagai obat dengkul dan diakui Ahmad kolesterolnya lebih rendah dibandingkan dengan bagian sapi yang lain.
“Untuk daging dan kikil, dari dulu kami bekerjasama dengan tukang daging sapi di pasar Ramayana. Kalau sekarang di pasar Bogor, kadang beli kesana tapi lebih banyak diantarkan kesini,” ujarnya.
Dalam sehari, ia menghabiskan 12 Kg daging dan kikil sapi di hari biasa. Kalau weekend bisa mencapai 16 Kg. Dalam satu kilogram kikil, ia mendapatkan 20 potong kikil atau bisa menjual hingga 240 potong Sehingga dalam sehari, penghasilannya sebesar Rp 1.200.000,-.
“Kalau pakai kikil sapi muda, 1 kilogram kikil bisa dapat 20 potong. Tapi sebaliknya kalau pakai kikil dari sapi tua jadi lebih sedikit. Jadi saya pakai kikil sapi muda aja,” tandasnya.
Sambal yang digunakan pun beda dari soto kuning yang lain. Ia menyebutnya sambal ngedadak karena pembuatannya yang serba dadakan. Cabai dimasukkan ke dalam plastik dan dengan benda seadanya ia menghaluskan cabai-cabai tebiut.
Sayang, beberapa kali ia diminta untuk memenuhi pesanan pengajian, pernikahan, hingga ulang tahun ia tolak. Pasalnya, menurut pengalaman, jumlah daging dan kikil yang harus ia sediakan bisa dua kali lipat dari jualan hari biasa.
“Sayangnya kami kekurangan orang karena yang masak adalah keluarga sendiri dan sudah pada tua. Jadi tenaganya tak sekuat saya yang tua, sehingga terpaksa saya tolak,” tandasnya.