My Trip to Borneo Island
4:08 AM Edit This 1 Comment »
Semua perjalanan pasti memiliki awal. Begitu juga dengan pengalamanku yang pertama menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan yang terkenal dengan sebutan Borneo. Tepatnya saya terbang ke Kalimantan Tengah, Palangka Raya, Ibu kota provinsi yang setelah saya baca di Wikipedia merupakan Kota yang memiliki wilayah terbesar di Indonesia. Nggak heran, waktu masa pemerintahan Ir. Soekarno, konon katanya beliau berencana memindahkan ibukota pemerintahan Indonesia ke kota yang mengandung pasir putih (padahal jauh dari pantai) ini. Lantaran kota ini memiliki luas wilayah terbesar di Indonesia dan tata kotanya lebih rapih dibandingkan Jakarta. Di akhir bulan Juli dan awal Agustus 2010 pun, lagi-lagi wacana untuk menjadikan Kalteng sebagai ibukota hadir dan tentu saja walikota setempat menyambut baik wacana yang hingga sekarang wacana tersebut bagai hilang di telan bumi karena banyaknya pemberitaan lain. Ini alasannya Palangkaraya menjadi ibukota
Pertama kali menginjakkan kaki di Bandar Udara Tjilik Riwut (dulu bernama Panarung), kami disapa oleh teriknya matahari di sana. Tentu saja tidak lupa menjadi fotografer amatir yang mengabadikan setiap sudut wajah yang memiliki latar belakang pemandangan atau suasana tempat-tempat di Kalimantan Tengah. Sesekali foto bareng dengan tim menjadikan kebersamaan ini tambah indah :D
Kami berangkat dari Bogor pukul 05.00 pagi. Demi menghindari macetnya Jakarta dan Alhamdulillah kami tiba tepat waktu dan sempat menyantap sarapan A&W di Soetta. Penerbangan pertamaku ke Kalimantan dilayani oleh Sriwijaya Air yang ‘Scary Enough’ but little bit comfort (kalau yang biasa naik penerbangan Garuda Indonesia, pesawat ini nggak bisa dibilang comfort :P).
Kota yang memiliki luas 2.678,51 km² ini cukup berangin ditambah dengan terik dan hawanya yang panas. Agak sedikit menyesal untuk memakai sweater hitam. Kalau udah gini, jadi kangen Bogor. Tapi kaki saya sudah nggak sabar untuk mengeksplor keindahan kota yang dulunya bernama Pahandut.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958, Pahandut berganti nama menjadi Palangka Raya (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang). Dalam Wikipeadi, ada yang bilang kalau Palangka Raya Bulau berasal dari suatu wadah Palangka (bagian muka dan belakang, melukiskan bentuk gambar Burung Elang) yang menurut kepercayaan leluhur/nenek moyang suku dayak, dipakai oleh Mahatala Langit (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menurunkan manusia pertama ke atas dunia.
Tidak lama setelah mengambil bagasi kami, kami dijemput oleh dua orang supir, Mas Hengki dan Pak Fakri yang dengan setia selama seminggu melayani kami untuk mengantarkan kami kemana saja selama di Palangka Raya ini.
Perjalanan menuju hotel tidak ditempuh terlalu jauh. Dari hasil wawancara singkat saya bersama mas Hengki, kota ini tidak mengenal kata macet, dimana kata ini menjadi ciri khas ibu kota negara kota yang tercinta :D! Bagaimana mau macet? Menurut data sensus penduduk tahun 2010 saja, kepadatan penduduk rata-rata 62,89 jiwa tiap km². Wow.. memang benar deh. Kota ini sepi. Apalagi ditambah dengan jalan rayanya yang lebar, sepi dan dua arah. Pantas saja, para bapak-bapak yang duduk di belakang saya (tim video dan photo) sontak berdecak kagum dan ingin nge-track di jalanan ini.
Tidak banyak pohon-pohon besar menghiasi jalan, sejauh mata saya memandang, yang saya lihat adalah rawa-rawa dengan rumah panggung kayu di atasnya. Banyak dari rumah tersebut tak berpenghuni dan dalam kondisi tidak terawat. Mirip rumah hantu kalau kita lihat malam gari. Untung saja, saya dan rombongan melintasinya saat siang hari.
Hanya sekitar 15 menit, kami memasuki pusat kota yang tak jauh sepinya. Hanya beberapa belokan dari bandara, kami sudah sampai di hotel tempat kami menginap. Aquarius Boutique Hotel, hotel yang pada perencanaannya akan didirikan menjadi hotel bintang tiga namun jadi bintang empat dengan 9 lantai. Gedung yang berlamat di Jl. Imam Bonjol ini pun menjadi gedung tertinggi di Palangka Raya. Beruntung saya dan teman sekamar mendiami kamar di lantai 5. Beda satu lantai dengan anggota tim lain yang semuanya pria. Dari kamar twin bed ini (503), kami bisa melihat pemandangan kota Palangka Raya yang memang tidak banyak memiliki gedung tinggi.
Dari kamar saya, kami bisa melihat satu-satunya mall di Palangka Raya yang bernama Palma (Palangkaraya Mall). Nah, karena sudah masuk ke waktu makan siang, kami berencana makan yang tidak repot dan tidak jauh dari hotel dan GOR HI-QUA Wijaya, tempat dilangsungkannya Sirnas pertama 2011. Pilihannya jatuh ke Palma (tidak lain dan tidak bukan).
Sampainya disana, saya heran, bagaimana mall ini bisa hidup di tengah sepinya kota ini. Memasuki mall ini, yang sama sepinya, hanya beberapa tenan yang bisa kami jumpai dan itupun tak banyak dikunjungi. Sedikit gelap dan sangat berbeda dengan mall yang saya temui di Bogor, apalagi di Jakarta.Beberapa tenan yang agak ramai adalah tenan makanan seperti restorant, cafe dan foodcourt. Di foodcourt yang berada di lantai 2 (atau 3 ya?), hanya ada beberapa tenan saja. Dan pasti yang mendominasi adalah KFC. (Ada gak ya daerah yang gak ada KFC nya?) meskipun terlihat sepi, foodcourt disini lumayan melek teknologi karena sudah ada wifi dan kecepatannya juga lumayan.
Setelah saya menikmati Nasi Goreng Hongkong di Mama Kitchen yang menurut saya harganya lumayan juga untuk kota kecil (wilayah besar) seperti Palangka Raya, kami pun beranjak untuk ke GOR. Dalam berita yang ditulis oleh para wartawan dan beberapa info dari mbah google, saya membaca kalau GOR ini adalah GOR termegah di Kalimantan Tengah. Wow, jadi penasaran bagaimana bentuknya!
Tidak sampai 15 menit (benar kata mas Hengki, semua cepat dan gak pake macet), kami sampai di GOR termegah itu. Ternyata, masuknya saja melewati rumah penduduk yang cukup padat dan lebar tapi tetap aja sepi. Masuk ke gang-gang dan wolaaah.. sampai juga di GOR termegah itu. Dari depan kelihatan terlihat kecil, ketika masuk lumayan lah. Tapi tidak seperti apa yang saya bayangkan mengenai kata GOR Termegah itu.
Karena ini satu-satunya GOR, ya pasti menjadi GOR Termegah! (*Gubrak!) mungkin bisa dibilang termegah karena GOR ini memiliki penginapan atau mess untuk para atlit dan wasit, dapur umum dan toilet yang lumayan bersih untuk menjadi public service. Tak lupa, di GOR ini memiliki sistem penjualan mulai dari perlengkapan badminton hingga busana dari ujung kaki hingga apparel. Sampai-sampai para penonton saja tidak boleh membawa makanan dan minuman ke dalam GOR. Semua harus beli di dalam, wow, benar-benar suatu sistem penjualan yang bakal bikin kaya sepertinya. :P
Selama perjalanan pulang dari GOR ke Hotel, kami melewati berbagai gedung pemerintahan yang besar dan luas. Kata Mas Hengki, di Palangka Raya memiliki dua kategori masyarakat. Kalau enggak miskin ya kaya banget. Gubernurnya juga termasuk orang terkaya di sini. Rumahnya pas banget di depan kantornya dan itu bukan rumah dinas tapi merupakan rumah keluarga Teras Narang. Punya beberapa mobil hammer di daerah yang dulu sempat tertinggal merupakan simbol kekayaan yang tidak ada matinya.
Pusat kota terkenal dengan bundarannya. Di kota ini, ada tiga bundaran yang terkenal. Dari tiga bundaran ini, Anda bisa mencapai beberapa daerah sekaligus. Kalau sudah seharian jalan-jalan di kota ini, dapat dipastikan Anda akan hapal dengan sendirinya saking kota ini begitu kecil.
Meski wilayahnya terbesar di Indonesia, namun kota ini masih di dominasi oleh hutan, konservasi alam serta Hutam Lindung Tangkiling. Kota ini dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Jangan samakan sungai Kahayan dengan sungai yang Anda lihat di Jakarta karena sungai ini sangat besar seperti sungai Barito di Kalimantan Selatan.
Sejak 2001, Kalteng memiliki jembatan kebanggaan yang berdiri megah di atas sungai Kahayan. Jembatan ini menghubungkan kota Palangkaraya dengan seberang sungai Kahayan. Desainnya melengkung berwarna merah yang memiliki konstruksi baja yang berasal dari Australia. Menurut Wikipedia, sarana transportasi di atas sungai ini dapat menggunakan kapal kecil, seperti jukung, getek dan kelotok. Saya juga belum bisa membedakan secara langsung seperti apa rupanya karena hanya diberi kesempatan sangat sebentar untuk melintasinya. Panjang jembatan 640 meter dan lebar 9 meter. Jembatan ini dibangun selama 6 tahun dari 1995 hingga 2001.
Saya hanya berkesempatan untuk melintasinya saja tanpa turun dan foto-foto. Jadi beberapa foto blur bisa saya dapatkan dalam perjalanan. Sejauh mata memandang, daerah di dekat sungai di dominasi dengan rawa-rawa dan beberapa rumah warga. Terdapat dialog antara saya dan pak fakri, supir yang kala itu mengantarkan saya ke pasar Lombok untuk membeli oleh-oleh.
Pak Fakri berpikir, bagaimana bisa ada kehidupan di rawa-rawa itu karena yang dia lihat hanyalah kesulitan-kesulitan hidup dan kemiskinan yang menjalar ke sendi-sendi kehidupan warga Kalteng yang mendiami pinggir sungai Kahayan.
“Namun saya mendapat kata bijak dari tetua setempat, bahwa dimana ada air mengalir, disitu ada kehidupan.” Kata Pak Fakri sambil tetap menyetir dan kami mendengarkan dengan seksama.
Subhanallah.. ucapku dalam hati. Begitulah Allah mengatur rejeki setiap orang meski terkadang kita tidak paham bagaimana caranya hal itu terjadi pada masing-masing orang sekalipun ke diri kita masing-masing.
Sebelum sampai ke jembatan, kami mampir ke pasar Lombok untuk membeli beberapa souvenir buat orang kampus (biasanya orang rumah, karena ini oleh-olehnya untuk temen-temen kampus jadi pake bahasa orang kampus. Hehe). Sepertinya, ini adalah satu-satunya pasar yang menjual souvenir untuk buah tangan. Seperti pasar tradisional lainnya, pasar ini terlihat sedikit gersang dan jalan yang bisa dilalui juga lebar-lebar. Jadi tidak ada halangan bagi yang mengendarai kendaraan roda empat untuk parkir tepat di depan toko karena mobil lain yang lewat, masih bisa melaluinya.
Saat itu, saya masih menimbang-nimbang, oleh-oleh apa saja yang bisa saya bawa untuk orang kampus karena budget saya yang terbatas! (maklum, saat itu tanggal tua :D)
Sejauh mata saya memandang, tak banyak toko souvenir yang bisa saya temui. Karena tak banyak waktu yang bisa saya pakai untuk mencari oleh-oleh, akhirnya saya tak banyak berpikir dan langsung mengeksplor toko yang berada tepat di depan mobil yang kami gunakan. Di depan toko kerajinan “wisata” banyak tergantung beberapa pakaian, berbagai kerajinan tangan yang dibuat menjadi tas, topi, dompet handphone dan masih banyak lagi. Setelah saya masuk ke dalam toko cinderamata itu, si mbak-mbaknya mulai menawarkan saya berbagai kerajinan tangan yang biasa diminta wisatawan.
“Silahkan dilihat mbak. Ada manik-manik, bebatuan yang dibuat kalung, gelang hingga pajangan.” Jelas mbaknya dengan ramah.
Mataku tertuju dengan manik-manik yang disusun menjadi sarung pulpen. Warna-warnanya indah dan eye catching. Mereka menjualnya Rp 10.000 untuk 3 buah. Tentu saja, ini akan saya berikan kepada sahabat saya yang wanita. Saya pun menjelajah barang lain dengan mata saya.
Tak jauh dari tempat saya berdiri, tepat di atas kepala kanan saya, ada berbagai gantungan kunci yang terbuat dari karet mentah dan dibentuk menyerupai manusia yang berbaju adat suku dayak. Unik dan lucu banget. Harganya juga tidak mahal, Rp 2500 untuk sebuah gantungan. Menurut saya, harganya bisa lebih mahal kalau barang ini dijual di tempat yang lebih berkelas dan mendukung untuk pariwisata Kalimantan. Karena bentuknya yang detail, unik dan tidak patah (mbak-mbak penjualnya menunjukkan kehebatan gantungan kunci yang anti patah meski sudah dipotek sama mbaknya di depan saya).
Akhirnya saya memberi beberapa yang gantungan kunci perempuan dan laki-laki. Ada juga ukiran kayu hitam seperti totem juga saya bawa. Belum puas mata saya melihat di bagian muka toko, saya mulai melihat-lihat di bagian dalam. Mata saya langsung jatuh cinta dengan sebuah gelang batu yang katanya batu pasir emas. Ada juga gelang yang terbuat dari batu kecubung berwarna ungu. Tapi mata saya tidak lepas dari gelang pasir emas yang cantik sekali. Saya pikir, gelang ini pasti mahal. Ternyata hanya Rp 10.000. Cukup untuk memperindah lengan saya yang ‘kering’ dari perhiasan ini.
Hem, sayang sekali budget tidak mendukung hasrat belanja saya. Selain benda-benda di atas, saya juga membeli dua buah kaos untuk saya dan mas dony yang sudah baik meminjamkan netbooknya selama seminggu (barter dengan matic pinky saya).
Setelah bertransaksi, sudah saatnya kami harus kembali ke hotel dan ke GOR untuk bekerja. Sepanjang perjalanan keluar pasar lombok itu, kami juga melihat beberapa toko souvenir. Jika lain kali Anda mampir ke pasar Lombok, tengok juga toko lain. Siapa tahu harganya bisa lebih miring. :D Sebelum ke hotel, kami melintasi sungai Kahayan melewati jembatannya yang panjang. Seperti yang telah saya ceritakan di awal cerita.
Perjalanan pertama ini di sponsori oleh Djarum dalam acara Sirkuit Nasional 2011. So, thank to PT. Djarum Kudus yang sudah promote us (our live score tim) and my boss, Yogie Pribadi yang telah mempercayakan saya masuk ke dalam tim yang asik ini. :D Let`s Rock Again sir! \m/
Pertama kali menginjakkan kaki di Bandar Udara Tjilik Riwut (dulu bernama Panarung), kami disapa oleh teriknya matahari di sana. Tentu saja tidak lupa menjadi fotografer amatir yang mengabadikan setiap sudut wajah yang memiliki latar belakang pemandangan atau suasana tempat-tempat di Kalimantan Tengah. Sesekali foto bareng dengan tim menjadikan kebersamaan ini tambah indah :D
Kami berangkat dari Bogor pukul 05.00 pagi. Demi menghindari macetnya Jakarta dan Alhamdulillah kami tiba tepat waktu dan sempat menyantap sarapan A&W di Soetta. Penerbangan pertamaku ke Kalimantan dilayani oleh Sriwijaya Air yang ‘Scary Enough’ but little bit comfort (kalau yang biasa naik penerbangan Garuda Indonesia, pesawat ini nggak bisa dibilang comfort :P).
Kota yang memiliki luas 2.678,51 km² ini cukup berangin ditambah dengan terik dan hawanya yang panas. Agak sedikit menyesal untuk memakai sweater hitam. Kalau udah gini, jadi kangen Bogor. Tapi kaki saya sudah nggak sabar untuk mengeksplor keindahan kota yang dulunya bernama Pahandut.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1958, Pahandut berganti nama menjadi Palangka Raya (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang). Dalam Wikipeadi, ada yang bilang kalau Palangka Raya Bulau berasal dari suatu wadah Palangka (bagian muka dan belakang, melukiskan bentuk gambar Burung Elang) yang menurut kepercayaan leluhur/nenek moyang suku dayak, dipakai oleh Mahatala Langit (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menurunkan manusia pertama ke atas dunia.
Tidak lama setelah mengambil bagasi kami, kami dijemput oleh dua orang supir, Mas Hengki dan Pak Fakri yang dengan setia selama seminggu melayani kami untuk mengantarkan kami kemana saja selama di Palangka Raya ini.
Perjalanan menuju hotel tidak ditempuh terlalu jauh. Dari hasil wawancara singkat saya bersama mas Hengki, kota ini tidak mengenal kata macet, dimana kata ini menjadi ciri khas ibu kota negara kota yang tercinta :D! Bagaimana mau macet? Menurut data sensus penduduk tahun 2010 saja, kepadatan penduduk rata-rata 62,89 jiwa tiap km². Wow.. memang benar deh. Kota ini sepi. Apalagi ditambah dengan jalan rayanya yang lebar, sepi dan dua arah. Pantas saja, para bapak-bapak yang duduk di belakang saya (tim video dan photo) sontak berdecak kagum dan ingin nge-track di jalanan ini.
Tidak banyak pohon-pohon besar menghiasi jalan, sejauh mata saya memandang, yang saya lihat adalah rawa-rawa dengan rumah panggung kayu di atasnya. Banyak dari rumah tersebut tak berpenghuni dan dalam kondisi tidak terawat. Mirip rumah hantu kalau kita lihat malam gari. Untung saja, saya dan rombongan melintasinya saat siang hari.
Hanya sekitar 15 menit, kami memasuki pusat kota yang tak jauh sepinya. Hanya beberapa belokan dari bandara, kami sudah sampai di hotel tempat kami menginap. Aquarius Boutique Hotel, hotel yang pada perencanaannya akan didirikan menjadi hotel bintang tiga namun jadi bintang empat dengan 9 lantai. Gedung yang berlamat di Jl. Imam Bonjol ini pun menjadi gedung tertinggi di Palangka Raya. Beruntung saya dan teman sekamar mendiami kamar di lantai 5. Beda satu lantai dengan anggota tim lain yang semuanya pria. Dari kamar twin bed ini (503), kami bisa melihat pemandangan kota Palangka Raya yang memang tidak banyak memiliki gedung tinggi.
Dari kamar saya, kami bisa melihat satu-satunya mall di Palangka Raya yang bernama Palma (Palangkaraya Mall). Nah, karena sudah masuk ke waktu makan siang, kami berencana makan yang tidak repot dan tidak jauh dari hotel dan GOR HI-QUA Wijaya, tempat dilangsungkannya Sirnas pertama 2011. Pilihannya jatuh ke Palma (tidak lain dan tidak bukan).
Sampainya disana, saya heran, bagaimana mall ini bisa hidup di tengah sepinya kota ini. Memasuki mall ini, yang sama sepinya, hanya beberapa tenan yang bisa kami jumpai dan itupun tak banyak dikunjungi. Sedikit gelap dan sangat berbeda dengan mall yang saya temui di Bogor, apalagi di Jakarta.Beberapa tenan yang agak ramai adalah tenan makanan seperti restorant, cafe dan foodcourt. Di foodcourt yang berada di lantai 2 (atau 3 ya?), hanya ada beberapa tenan saja. Dan pasti yang mendominasi adalah KFC. (Ada gak ya daerah yang gak ada KFC nya?) meskipun terlihat sepi, foodcourt disini lumayan melek teknologi karena sudah ada wifi dan kecepatannya juga lumayan.
Setelah saya menikmati Nasi Goreng Hongkong di Mama Kitchen yang menurut saya harganya lumayan juga untuk kota kecil (wilayah besar) seperti Palangka Raya, kami pun beranjak untuk ke GOR. Dalam berita yang ditulis oleh para wartawan dan beberapa info dari mbah google, saya membaca kalau GOR ini adalah GOR termegah di Kalimantan Tengah. Wow, jadi penasaran bagaimana bentuknya!
Tidak sampai 15 menit (benar kata mas Hengki, semua cepat dan gak pake macet), kami sampai di GOR termegah itu. Ternyata, masuknya saja melewati rumah penduduk yang cukup padat dan lebar tapi tetap aja sepi. Masuk ke gang-gang dan wolaaah.. sampai juga di GOR termegah itu. Dari depan kelihatan terlihat kecil, ketika masuk lumayan lah. Tapi tidak seperti apa yang saya bayangkan mengenai kata GOR Termegah itu.
Karena ini satu-satunya GOR, ya pasti menjadi GOR Termegah! (*Gubrak!) mungkin bisa dibilang termegah karena GOR ini memiliki penginapan atau mess untuk para atlit dan wasit, dapur umum dan toilet yang lumayan bersih untuk menjadi public service. Tak lupa, di GOR ini memiliki sistem penjualan mulai dari perlengkapan badminton hingga busana dari ujung kaki hingga apparel. Sampai-sampai para penonton saja tidak boleh membawa makanan dan minuman ke dalam GOR. Semua harus beli di dalam, wow, benar-benar suatu sistem penjualan yang bakal bikin kaya sepertinya. :P
Selama perjalanan pulang dari GOR ke Hotel, kami melewati berbagai gedung pemerintahan yang besar dan luas. Kata Mas Hengki, di Palangka Raya memiliki dua kategori masyarakat. Kalau enggak miskin ya kaya banget. Gubernurnya juga termasuk orang terkaya di sini. Rumahnya pas banget di depan kantornya dan itu bukan rumah dinas tapi merupakan rumah keluarga Teras Narang. Punya beberapa mobil hammer di daerah yang dulu sempat tertinggal merupakan simbol kekayaan yang tidak ada matinya.
Pusat kota terkenal dengan bundarannya. Di kota ini, ada tiga bundaran yang terkenal. Dari tiga bundaran ini, Anda bisa mencapai beberapa daerah sekaligus. Kalau sudah seharian jalan-jalan di kota ini, dapat dipastikan Anda akan hapal dengan sendirinya saking kota ini begitu kecil.
Meski wilayahnya terbesar di Indonesia, namun kota ini masih di dominasi oleh hutan, konservasi alam serta Hutam Lindung Tangkiling. Kota ini dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Jangan samakan sungai Kahayan dengan sungai yang Anda lihat di Jakarta karena sungai ini sangat besar seperti sungai Barito di Kalimantan Selatan.
Sejak 2001, Kalteng memiliki jembatan kebanggaan yang berdiri megah di atas sungai Kahayan. Jembatan ini menghubungkan kota Palangkaraya dengan seberang sungai Kahayan. Desainnya melengkung berwarna merah yang memiliki konstruksi baja yang berasal dari Australia. Menurut Wikipedia, sarana transportasi di atas sungai ini dapat menggunakan kapal kecil, seperti jukung, getek dan kelotok. Saya juga belum bisa membedakan secara langsung seperti apa rupanya karena hanya diberi kesempatan sangat sebentar untuk melintasinya. Panjang jembatan 640 meter dan lebar 9 meter. Jembatan ini dibangun selama 6 tahun dari 1995 hingga 2001.
Saya hanya berkesempatan untuk melintasinya saja tanpa turun dan foto-foto. Jadi beberapa foto blur bisa saya dapatkan dalam perjalanan. Sejauh mata memandang, daerah di dekat sungai di dominasi dengan rawa-rawa dan beberapa rumah warga. Terdapat dialog antara saya dan pak fakri, supir yang kala itu mengantarkan saya ke pasar Lombok untuk membeli oleh-oleh.
Pak Fakri berpikir, bagaimana bisa ada kehidupan di rawa-rawa itu karena yang dia lihat hanyalah kesulitan-kesulitan hidup dan kemiskinan yang menjalar ke sendi-sendi kehidupan warga Kalteng yang mendiami pinggir sungai Kahayan.
“Namun saya mendapat kata bijak dari tetua setempat, bahwa dimana ada air mengalir, disitu ada kehidupan.” Kata Pak Fakri sambil tetap menyetir dan kami mendengarkan dengan seksama.
Subhanallah.. ucapku dalam hati. Begitulah Allah mengatur rejeki setiap orang meski terkadang kita tidak paham bagaimana caranya hal itu terjadi pada masing-masing orang sekalipun ke diri kita masing-masing.
Sebelum sampai ke jembatan, kami mampir ke pasar Lombok untuk membeli beberapa souvenir buat orang kampus (biasanya orang rumah, karena ini oleh-olehnya untuk temen-temen kampus jadi pake bahasa orang kampus. Hehe). Sepertinya, ini adalah satu-satunya pasar yang menjual souvenir untuk buah tangan. Seperti pasar tradisional lainnya, pasar ini terlihat sedikit gersang dan jalan yang bisa dilalui juga lebar-lebar. Jadi tidak ada halangan bagi yang mengendarai kendaraan roda empat untuk parkir tepat di depan toko karena mobil lain yang lewat, masih bisa melaluinya.
Saat itu, saya masih menimbang-nimbang, oleh-oleh apa saja yang bisa saya bawa untuk orang kampus karena budget saya yang terbatas! (maklum, saat itu tanggal tua :D)
Sejauh mata saya memandang, tak banyak toko souvenir yang bisa saya temui. Karena tak banyak waktu yang bisa saya pakai untuk mencari oleh-oleh, akhirnya saya tak banyak berpikir dan langsung mengeksplor toko yang berada tepat di depan mobil yang kami gunakan. Di depan toko kerajinan “wisata” banyak tergantung beberapa pakaian, berbagai kerajinan tangan yang dibuat menjadi tas, topi, dompet handphone dan masih banyak lagi. Setelah saya masuk ke dalam toko cinderamata itu, si mbak-mbaknya mulai menawarkan saya berbagai kerajinan tangan yang biasa diminta wisatawan.
“Silahkan dilihat mbak. Ada manik-manik, bebatuan yang dibuat kalung, gelang hingga pajangan.” Jelas mbaknya dengan ramah.
Mataku tertuju dengan manik-manik yang disusun menjadi sarung pulpen. Warna-warnanya indah dan eye catching. Mereka menjualnya Rp 10.000 untuk 3 buah. Tentu saja, ini akan saya berikan kepada sahabat saya yang wanita. Saya pun menjelajah barang lain dengan mata saya.
Tak jauh dari tempat saya berdiri, tepat di atas kepala kanan saya, ada berbagai gantungan kunci yang terbuat dari karet mentah dan dibentuk menyerupai manusia yang berbaju adat suku dayak. Unik dan lucu banget. Harganya juga tidak mahal, Rp 2500 untuk sebuah gantungan. Menurut saya, harganya bisa lebih mahal kalau barang ini dijual di tempat yang lebih berkelas dan mendukung untuk pariwisata Kalimantan. Karena bentuknya yang detail, unik dan tidak patah (mbak-mbak penjualnya menunjukkan kehebatan gantungan kunci yang anti patah meski sudah dipotek sama mbaknya di depan saya).
Akhirnya saya memberi beberapa yang gantungan kunci perempuan dan laki-laki. Ada juga ukiran kayu hitam seperti totem juga saya bawa. Belum puas mata saya melihat di bagian muka toko, saya mulai melihat-lihat di bagian dalam. Mata saya langsung jatuh cinta dengan sebuah gelang batu yang katanya batu pasir emas. Ada juga gelang yang terbuat dari batu kecubung berwarna ungu. Tapi mata saya tidak lepas dari gelang pasir emas yang cantik sekali. Saya pikir, gelang ini pasti mahal. Ternyata hanya Rp 10.000. Cukup untuk memperindah lengan saya yang ‘kering’ dari perhiasan ini.
Hem, sayang sekali budget tidak mendukung hasrat belanja saya. Selain benda-benda di atas, saya juga membeli dua buah kaos untuk saya dan mas dony yang sudah baik meminjamkan netbooknya selama seminggu (barter dengan matic pinky saya).
Setelah bertransaksi, sudah saatnya kami harus kembali ke hotel dan ke GOR untuk bekerja. Sepanjang perjalanan keluar pasar lombok itu, kami juga melihat beberapa toko souvenir. Jika lain kali Anda mampir ke pasar Lombok, tengok juga toko lain. Siapa tahu harganya bisa lebih miring. :D Sebelum ke hotel, kami melintasi sungai Kahayan melewati jembatannya yang panjang. Seperti yang telah saya ceritakan di awal cerita.
Perjalanan pertama ini di sponsori oleh Djarum dalam acara Sirkuit Nasional 2011. So, thank to PT. Djarum Kudus yang sudah promote us (our live score tim) and my boss, Yogie Pribadi yang telah mempercayakan saya masuk ke dalam tim yang asik ini. :D Let`s Rock Again sir! \m/