Innalillahi..

6:45 AM Edit This 0 Comments »
Minggu ini adalah sepekan yang membuat gue banyak berfikir.. (sebelum-sebelumnya juga mikir, cuma yang ini banyak mikir tentang kehidupan dan bukan liputan doang).
Kamis pagi, nyokap udah miskol gue lima kali di jam 5 pagi. gue baru tidur jam 1, alhasil baru gue angkat jam 6.30an. gue lupa tepatnya kapan.. dan nyokap dengan gaya dan bicara yang sama ngabarin gue kabar sangat membuat kaget.. sama seperti waktu nyokap mengabarkan kepergian sahabat kecil gue Noni, Anjarasari Pratiwi..
Kali ini, suami kaka kandung gue yang meninggal. Mas Suryo Condro Purnomo.. Sosok yang kadang bikin gue jengkel dan pernah gue benci.. tapi bulan-bulan akhir ini (di 2010), benci gue hilang,, entah dia mulai terbuka ama gue dan respek akan masa depan gue atau sedikit banyak, gue mulai tahu apa yang terjadi di dalam keluarga mbak gue.
tidak sepenuhnya salah dia, ga pantas juga menyalahkan seseorang atas keributan yang terjadi di dalam keluarga.
kamis jam tiga pagi, dia meninggal dengan sangat mendadak. pasalnya, pas tahun baru dan gue sempet ngobrol ama dia... memang sih, wajahnya udah beda. pucat pasi.
OMG, gue bener-bener gak tahu harus ngomong apa.. setelah gue buru-buru ke Jakarta, gue lihat jenazahnya sudah dalam keadaan di kafankan dan terbujur kaku. Uta uti, dua keponakan gue yang saat ini masih berusia 6 dan 4 tahun nggak ngerti bahwa dia telah kehilangan sosok bapak selamanya. sosok bapak yang selalu disebut kalau mereka nangis.. Uti pun sudah paham bagaimana rasanya rindu.. tapi dia belum mengenal dengan yang namanya kematian.. Ya Allah, sekecil itu, mereka sudah menjadi Yatim..
Sakit darah tinggi yang diderita iparku itu tak membuat mas pur rewel, apalagi sampai di periksa ke dokter. dia meninggal di rumahnya, di pelukan mbak prapti. Padahal sebelumnya dia baru saja di pijat oleh istri yang memberinya satu anak itu, Tiwi.
Miris memang, di kala tiga anak ini membutuhkan figur bapaknya, mereka harus kehilangan. Jangankan aku yang tak melihat dan mengikuti perkembangan hidupnya mas pur, kakaku saja yang sehari sebelumnya masih sempat facial wajah suaminya itu, membersihkan kakinya, dan memandikannya kini harus meninggalkannya..

aku berusaha membuatnya tegar dengan menciptakan keadaan seolah-olah bukan kematian yang ia hadapi. kematian hanya satu fase yang harus dilewati setiap insan manusia. dan semua orang akan mengalaminya. dan kita harus tegar akan itu. Saat itu juga, pukul 11 siang, kami berangkat ke Nganjuk-Jawa Timur. Mengantarkan almarhum ke peristirahatannya yang terakhir. seperti mimpi saja. Aku duduk berdua dengan mbak eva di sebelah peti bisu. di dalamnya terdiam sesosok jenazah, suaminya..

sampai di kediaman ayahnya sekitar pukul 2 pagi. peti dibawa masuk ke ruang tengah. aku melihat lagi wajah yang telah membiru itu ketika ayahanda dan segenap keluarga di Nganjuk mau melihatnya untuk yang terakhir kalinya. keesokan harinya, sekitar pukul 10, dia dimakamkan di pekuburan keluarga. sekitar 3 kilo dari rumah orangtuanya.

ketika itu, peti dibuka. darah segar sudah menempel di kafannya. AKu tak kuasa menahan gamang, apalagi istrinya. menangis sesenggukan. Ditambah lagi, ada pertengkaran kecil mengenai penguburan memakai peti.

orang-orang kampung tak mau mengangkat jenazah dan meletakkanya tanpa peti, mereka setuju, peti ikut masuk dalam liang lahat. meski tetap di ganjal dengan bantalan tanah. Mirisnya, mas Putut ikut membela mbak epa, tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Orang kampung dan kaka serta bulenya bersikukuh bahwa itu adalah hal yang biasa dan sudah diterapkan kepada ibu mas pur serta iparnya yang lebih dulu menghadap illahi.

mbak epa pun pergi dan aku menahan lengannya meski akhirnya kekuatanku tak kuasa menahan kekuatan dari istri yang ingin suaminya dimakamkan sesuai dengan syariat islam. kata kakanya yang pertama, kita tidak bisa lagi melakukan apapun, ini sudah keinginan dari orang-orang kampung. kalau menolak, nanti kalau tidak diurusi sama orang kampung gimana?
haloooo... kalianlah, saudara sekandungnya yang mengurusi. Kenapa kok jadi ribut dengan orang kampung. kalian tidak mau memegang tubuh saudara kalian sendiri? sungguh tega, dalam hatiku berkata. atau memang ini adalah budaya yang tidak bisa ditolak oleh warganya sendiri meski mereka tak lagi tinggal di daerahnya itu selama puluhan tahun.

mbak epa akhirnya mengalah, dia cukup berbahagia dengan bisa mengantarkan suaminya ke peristirahatan terakhir. teringat pula akan buah hatinya, Putra dan putri yang mereka besarkan berdua dan akan menjadi jembatan amal tiada putus antara ayah dan anak. Ia menjadi lebih kuat dan lebih kuat lagi. Ia berjanji akan menyekolahkan Uta Uti sampai sarjana. itu amanat Mas Pur, kata Eva.

sepulang dari pemakaman, kami bergegas untuk ke Surabaya. Mbak Ida meminta kami untuk mampir. Aku dengan senang hati kesana, apalagi sudah dua tahun aku tak menjumpai keponakanku yang lain. Bilqish Diandra. 9 Februari nanti, dia berusia 2 tahun. ingin sekali memberinya kado. tapi apa ya?

tubuhnya sudah 19 kg meski dia belum genap dua tahun. semoga bukan obesitas (jelas obesitas lah).. yang disayangkan, dia belum juga bisa berbicara. hanya beberapa kata yang tak bisa kita prediksi untuk keluar dari bibir mungil yang diapit kedua pipi tembemnya itu.

aahh, kangen lagi sama Andra.. cantik.. pipi putih dan kadang merona. alis terukir rapi bak semut berbaris. bulu mata lentik dengan rambut ikal mirip Papi (ka Sidik). tapi tubuh yang bahenol, persis seperti ibunda. ayahnya juga besar waktu kecil dan beranjak dewasa, ia pun meninggi dan mengurus. Hanya bisa semalam kami menginap disana dan merasakan betapa keluarga ini dipenuhi keberkahan yang teramat sangat.

Bodoh sekali ka sidik menyakiti istri dan anaknya itu. dengan lebih memilih temannya sebagai tempat berkeluh kesah. BODOH!

huft, pulang dari Surabaya, kami tak menyangka akan dibelikan tiket kereta Eksekutif Sembrani. Gerbong 1 tempat duduk 12-13A. ternyata gerbong paling belakang dekat mesin kereta. Makasih mba Ida, aku rasa bagi dia ini tak berlebihan. Dia hanya tak ingin menambah kesusahan mba epa karena ditinggal mati suaminya.

Tak disangka, kami duduk di depan seorang pria yang Cabul dari Madura. Entah namanya siapa, wajahnya polos, dan dia bilang padaku bahwa dia baru pertama kali ke Jakarta. sikapnya aneh, sering memerhatikan kami apalagi aku (bukan GEER) tanpa berkedip. :P hiyaakss. jadi jiji.. udah begitu, ketika dia menutup seluruh tubuhnya dengan dua selimut (satu selimut lagi diambil dari bangku sebelah tanpa permisi), kakinya menginjak kakiku. Untuk pertama kalu, aku pikir dia tak sengaja. ketika aku menarik kakiku, dia malah menginjaknya lagi dan seperti sengaja dia menggosokkan kakinya ke punggung kakiku. SUmpah ya, sebel banget. dia agak edaan. Aku langsung memutar balikkan kursiku yang sebelumnya memang dibalik untuk nonton film yang disajikan pengelola KA. tak berhenti sampai disitu, setelah aku mencoba memejamkan mata, kakinya lagi-lagi menyeruak diantara bangkuku dan mbak epa. Astagfirullah, aku berusaha sabar. pasalnya dia menggosok-gosokkan kakinya ke lenganku yang terlihat di sisi bangku yang terhalang lengan kursi.

tanpa banyak bicara, lengan kursi yang ada di tengah aku naikkan. lalu berhentilah dia menyelipkan kakinya di antara kursi kami. You`re sucks dude!! ;P

di sela-sela kejadian itu, sebelumnya kami mengobrol dengan pak Sevri Agus Darmanto dari Berlin Stove. Dia Owner (tapi di kartu nama General Manager) dari usaha yang telah ia rintis selama 8 bulan. Dia memperlihatkan betapa prospek bisnisnya sangat terbuka lebar. :P aku sangat exited dan terlintas akan menekuni direct marketing kompor berhaan bakar etanol itu. apalagi ia bilang, bahwa ia memonopoli pasar sehingga pasar akan dikuasai oleh perusahaannya.

setelah tadi aku cari2 di internet, tak ada satupun yang menceritakan tentang usahanya dan idenya itu ternyata sudah banyak ditiru orang, namun belum pada skala usaha yang mencapai omset 15000 kompor tiap minggu. agak aneh dan janggal saya rasa, tapi masuk logika juga sih. Ah, bukan saatnya aku memikirkan itu, pikirku. aku mau fokus dengan pekerjaan jurnalis ini untuk bulan terakhir. karena aku mesti belajar dnegan cepat ke pekerjaan baruku kelak. entah seperti apa pekerjaannya tapi aku akan berusaha sebaik mungkin. menunjukkan prestasi dan menunjukkan kepada bapak bahwa aku bisa mandiri.

di tiket ditulis jam 05.15 kami akan sampai ke Gambir. mba epa pun sudah menanyakannya kepada petugas KA yang mengambil tiket. ternyata, sampai jam 7.30. Ka sidik yang bertugas menjemput kami subuh itu sudah berulang kali kami telpon agar bangun dan menjemput. Ternyata dia malah harus menunggu sejam lebih. hahahha

biarin aja deh, biar dia tahu rasa.. :P

sampai di Gambir, aku antar kakaku dengan pelukan hangat, dan akupun langsung mengejar kereta Bogor, Pakuan Ekspress yang akan berangkat 10 menit lagi. beruntung gerbong wanita yang pertama lowong, aku pun bisa menselonjorkan kakiku di atas kursinya yang empuk, sambil membaca Zuwad-milik MAs Dony dari Pak Sam..

ini secara singkat, perjalananku menmbus jawa, Perjalanan pertamaku tanpa membawa persiapan. Baju pun hanya satu yang kupakai. yang menempel di badan. hahha seru.. Alhamdulillah lancar. Dan semoga aku bisa balik lagi ke Surabaya, untuk liburan, bukan mengantarkan jenazah pulang ke hadapan Illahi.. :(